Kisah Dewa Ruci
Dalam
lakon pewayangan dengan Lakon Dewa Ruci dikisahkan Bima salah seorang dari
Pandawa memiliki seorang guru bernama Resi Drona. Dalam alur cerita Bima
diperintah oleh sang guru Resi Drona untuk mencari air kehidupan (tirta
perwita) yang diyakini akan membuat Bima mencapai kesempurnaan hidup. Apa yang
dilakukan oleh Resi Drono pada Bima sebenarnya hanyalah siasat untuk dari Resi
Drona untuk melenyapkan Bima supaya tidak turut berperang dalam Perang
Baratayuda yang kala itu sedang dipersiapkan. Sebagai seorang murid yang taat
akan perintah sang guru, tanpa bertanya panjang
lebar Bima langsung menjalankan titah sang guru dan berangkat menuju tempat-tempat berbahaya yang
sudah ditentukan Drona.
Dalam
perjalanan pertama,Bima diutus ke gua gunung Candramuka. Namun, air yang dicari
ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik hingga membuat terkejut
dua raksasa yang tinggal di sana, yaitu Rukmuka dan Rukmakala. Kemudian terjadi
perkelahian antara mereka dan membuat dua raksaksa tersebut kalah, ditendang,
dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur Bima tak juga dapat menemukan air kehidupan,
akhirnya ia pasrah dan tersandar pada sebuah pohon beringin Bima bertemu dengan
dua raksasa, Rukmuka dan Rukmukala di gunung Candradimuka
Tak lama kemudian, Ia mendengar suara
tak berwujud, "Wahai cucuku yang sedang bersedih, engkau mencari sesuatu
yang tidak ada di sini Mustahil mencari
air kehidupan di sini".Suara itu berasal dari Batara Indra dan Bayu yang
kemudian memberitahu Bima bahwa dua raksasa yang dibunuh Sena,ternyata memang
sedang dihukum Batara Guru Lalu dikatakan juga agar untuk mencari air
kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke Astina.
Setelah
ia kembali ke Astina, ia menemui gurunya kembali, Resi Drona. Bukannya mengakui
akan kesalahan akan perintah yang mengada-ada tetapi Resi Drona malah berdalih hanya menguji Bima. Resi Dronapun memerintahkan Bima untuk menuju
Samudra demi mendapatkan air kehidupan. Sebelum pergi, semua kerabat Bima melarang dan
memperingatkan bahwa semua itu hanyalah jebakan saja Namun Bima tetap teguh dan bertekad pergi demi
melaksanakan titah sang guru. Bahkan
jika ia harus menemui kemalangan pun ia siap, sebab ia sendiri memiliki
keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah darma, dan semua ada yang
mengaturnya.
Sesamapai
di tepi laut, Bima mengatur segala emosi yang timbul, ketakutan, keraguan di
dalam diri atas sanggup dan tidaknya ia memasuki samudra raya itu. Dengan kesaktian aji Jalasegara yang ia
dapatkan dari Batara Bayu pada perjalanan sebelumnya, ia memasuki dasar laut
dengan menyibak air, bahkan sanggup bernafas di dalam air Alkisah ada naga sebesar anakan sungai,
pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut
bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal
lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Bima bingung dan mengira cepat mati, tapi saat
lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka,
menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut
bergembira.
Bima bertemu dengan Dewa Ruci
Hingga
akhirnya di Samudra yang sama Bima bertemu dengan seorang Dewa kerdil bernama
Dewa Ruci yang wajahnya menyerupai Bima sendiri Besar dari Dewa Ruci tidak
lebih besar dibanding telapak tangan Bima. Dewa Ruci memerintahkan Bima untuk memasuki
telinga kiri Dewa Ruci, sebuah perintah yang mustahil Namun, dengan sebuah
keajaiban, Bima berhasil masuk ke telinga Dewa kerdil itu dan di dalamnya Bima
mendapati dunia yang maha luas. Dewa
Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak ada di mana-mana, percuma mencari air
kehidupan di segala tempat di dunia, sebab air kehidupan berada di dalam diri
manusia itu sendiri.
Bima
memahami wejangan Dewa Ruci yang sesungguhnya adalah representasi dirinya
sendiri, yang muncul dan memberi pengajaran kepadanya karena ia telah mematuhi
segenap perintah gurunya (Drona) dengan sepenuh hati.
Ada
empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah kuning dan putih.
Lalu berkatalah Dewa Ruci, "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak
tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin
dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih,
merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah
rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada
hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah
penghalang hati.
Yang
hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi
tindakan yang baik. Yang merah
menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati,
menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang
putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu,
perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam,
merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan
Suksma Mulia.
Lalu Bima melihat, cahaya memancar
berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu?! Menurut Dewa Ruci, itu adalah kemampuan
manusia untuk berwaspada, yang disebut sebagai Pramana. Pramana menyatu dengan diri tetapi tidak ikut
merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan
dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari
tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya Itulah yang mampu merasakan
penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup,
mengakui rahasia zat.
Kemudian tentang Suksma Sejati, ada
pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu
dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar,
persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti Manusia bagaikan wayang, Dalang
yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia
merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Jika sudah paham akan segala tanggung
jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana
juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi
selamanya, yang mati itu juga. Badan
hanya sekadar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Bima setelah mendengar perkataan
Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati
mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh
Dewa Ruci, "Bima, ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu
yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian,
kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara
melaksanakan.
Apa
Makna Religi yang Terkandung dalam Kisah Dewa Ruci?
Kisah
Dewa Ruci ingin menyampaikan ihwal hasrat manusia yang terus dan terus ingin
melacak keberadaan Yang Ilahi, dengan nalarnya ia melakukan penjelajahan. Manusia disebut sebagai jagad cilik atau mikrokosmos atau dunia kecil, sedangkan semesta
raya disebut sebagai makrokosmos atau jagad
gede yang merupakan manifestasi dari Tuhan sendiri Dalam penjelajahan itu,
sebelum orang melangkah lebih jauh ke dalam dirinya, ia niscaya melakukan
pendefinisian diri. Sayangnya
pendefinisian ini bukanlah tindakan yang mudah dilakukan. Karena, tiap kali
pendefinisian itu, pada akhirnya justru mempersempit hakikat diri yang
sesungguhnya. Pendefinisian selalu
selalu saja hanya menghadirkan sepotong dari kenyataan yang kompleks.
Jagad
mikrikosmos sama luasnya dengan jagad makrokosmos. Di sana, rahasia ke-Tuhanannya disembunyikan,
"Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya." Keyakinan ini mengendap dalam keyakinan
orang-orang Jawa pada masa silam
Perjalanan
Bima mengalahkan para raksasa untuk menemukan air perwita, mengalahkan naga,
dan bertemu dengan Dewa Ruci sesungguhnya sarat dengan simbol-simbol tentang perjuangan
manusia mengalahkan nafsu-nafsu yang dapat menghalanginya menuju kesempurnaan,
misalnya nafsu makan, kekuasaan, kesombongan dll. Bima mencapai kesempurnaan karena watak dan
sifat rela, patuh, waspada, eling (tidak lupa diri), dan rendah hati. Seseorang yang telah tahu siapa dirinya akan
melakukan hal-hal tersebut dengan alasan ia mengamalkan tugas-tugasnya di
dunia.