Sanggar Budaya "Serumpun"

Sabtu, 30 April 2016

Dunia Pewayangan



Kisah Dewa Ruci

Dalam lakon pewayangan dengan Lakon Dewa Ruci dikisahkan Bima salah seorang dari Pandawa memiliki seorang guru bernama Resi Drona. Dalam alur cerita Bima diperintah oleh sang guru Resi Drona untuk mencari air kehidupan (tirta perwita) yang diyakini akan membuat Bima mencapai kesempurnaan hidup. Apa yang dilakukan oleh Resi Drono pada Bima sebenarnya hanyalah siasat untuk dari Resi Drona untuk melenyapkan Bima supaya tidak turut berperang dalam Perang Baratayuda yang kala itu sedang dipersiapkan. Sebagai seorang murid yang taat akan perintah sang guru,  tanpa bertanya panjang lebar Bima langsung menjalankan titah sang guru dan  berangkat menuju tempat-tempat berbahaya yang sudah ditentukan Drona. 
Dalam perjalanan pertama,Bima diutus ke gua gunung Candramuka. Namun, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik hingga membuat terkejut dua raksasa yang tinggal di sana, yaitu Rukmuka dan Rukmakala. Kemudian terjadi perkelahian antara mereka dan membuat dua raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur  Bima tak juga dapat menemukan air kehidupan, akhirnya ia pasrah dan tersandar pada sebuah pohon beringin Bima bertemu dengan dua raksasa, Rukmuka dan Rukmukala di gunung Candradimuka
Tak lama kemudian, Ia mendengar suara tak berwujud, "Wahai cucuku yang sedang bersedih, engkau mencari sesuatu yang tidak ada di sini  Mustahil mencari air kehidupan di sini".Suara itu berasal dari Batara Indra dan Bayu yang kemudian memberitahu Bima bahwa dua raksasa yang dibunuh Sena,ternyata memang sedang dihukum Batara Guru Lalu dikatakan juga agar untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke Astina.
Setelah ia kembali ke Astina, ia menemui gurunya kembali, Resi Drona. Bukannya mengakui akan kesalahan akan perintah yang mengada-ada tetapi  Resi Drona malah berdalih hanya menguji Bima.  Resi Dronapun memerintahkan Bima untuk menuju Samudra demi mendapatkan air kehidupan.  Sebelum pergi, semua kerabat Bima melarang dan memperingatkan bahwa semua itu hanyalah jebakan saja  Namun Bima tetap teguh dan bertekad pergi demi melaksanakan titah sang guru.  Bahkan jika ia harus menemui kemalangan pun ia siap, sebab ia sendiri memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah darma, dan semua ada yang mengaturnya.
Sesamapai di tepi laut, Bima mengatur segala emosi yang timbul, ketakutan, keraguan di dalam diri atas sanggup dan tidaknya ia memasuki samudra raya itu.  Dengan kesaktian aji Jalasegara yang ia dapatkan dari Batara Bayu pada perjalanan sebelumnya, ia memasuki dasar laut dengan menyibak air, bahkan sanggup bernafas di dalam air  Alkisah ada naga sebesar anakan sungai, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan.  Bima bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.

Bima bertemu dengan Dewa Ruci
Hingga akhirnya di Samudra yang sama Bima bertemu dengan seorang Dewa kerdil bernama Dewa Ruci yang wajahnya menyerupai Bima sendiri Besar dari Dewa Ruci tidak lebih besar dibanding telapak tangan Bima.  Dewa Ruci memerintahkan Bima untuk memasuki telinga kiri Dewa Ruci, sebuah perintah yang mustahil Namun, dengan sebuah keajaiban, Bima berhasil masuk ke telinga Dewa kerdil itu dan di dalamnya Bima mendapati dunia yang maha luas.  Dewa Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak ada di mana-mana, percuma mencari air kehidupan di segala tempat di dunia, sebab air kehidupan berada di dalam diri manusia itu sendiri.
Bima memahami wejangan Dewa Ruci yang sesungguhnya adalah representasi dirinya sendiri, yang muncul dan memberi pengajaran kepadanya karena ia telah mematuhi segenap perintah gurunya (Drona) dengan sepenuh hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci, "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik.  Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan.  Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian.  Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu?!  Menurut Dewa Ruci, itu adalah kemampuan manusia untuk berwaspada, yang disebut sebagai Pramana.  Pramana menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kemudian tentang Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga.  Badan hanya sekadar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Bima setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci, "Bima, ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Apa Makna Religi yang Terkandung dalam Kisah Dewa Ruci?
Kisah Dewa Ruci ingin menyampaikan ihwal hasrat manusia yang terus dan terus ingin melacak keberadaan Yang Ilahi, dengan nalarnya ia melakukan penjelajahan.  Manusia disebut sebagai jagad cilik atau mikrokosmos atau dunia kecil, sedangkan semesta raya disebut sebagai makrokosmos atau jagad gede yang merupakan manifestasi dari Tuhan sendiri Dalam penjelajahan itu, sebelum orang melangkah lebih jauh ke dalam dirinya, ia niscaya melakukan pendefinisian diri.  Sayangnya pendefinisian ini bukanlah tindakan yang mudah dilakukan. Karena, tiap kali pendefinisian itu, pada akhirnya justru mempersempit hakikat diri yang sesungguhnya.  Pendefinisian selalu selalu saja hanya menghadirkan sepotong dari kenyataan yang kompleks.
Jagad mikrikosmos sama luasnya dengan jagad makrokosmos.  Di sana, rahasia ke-Tuhanannya disembunyikan, "Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya."  Keyakinan ini mengendap dalam keyakinan orang-orang Jawa pada masa silam
Perjalanan Bima mengalahkan para raksasa untuk menemukan air perwita, mengalahkan naga, dan bertemu dengan Dewa Ruci sesungguhnya sarat dengan simbol-simbol tentang perjuangan manusia mengalahkan nafsu-nafsu yang dapat menghalanginya menuju kesempurnaan, misalnya nafsu makan, kekuasaan, kesombongan dll.  Bima mencapai kesempurnaan karena watak dan sifat rela, patuh, waspada, eling (tidak lupa diri), dan rendah hati.  Seseorang yang telah tahu siapa dirinya akan melakukan hal-hal tersebut dengan alasan ia mengamalkan tugas-tugasnya di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar